Mentari menepi, dan perlahan menyusup ke balik laut. Menyulap birunya seketika menjadi jingga. Meniupkan aura ketenangan pada bayu yang berhembus, dan perlahan menysupkan tenangnya, hingga ke hatiku. Langit berubah merah bata, dengan mega yang berkejaran di atas laut yang memantulkan jingga.
Kunikmati keajaiban alam dengan kamu di sisi. Juga dengan pasir di sela-sela jari kaki. Bayu sesekali menepis wajah, menghantarkan aromamu menyelusup ke indera, menggetarkan tubuhku dengan bagian dirimu di dalamnya. Kamu memperindah fenomena yang paling kugemari di penghujung hari. Ritual sakral penjemput malam.
Akankah semua sama indahnya bila tanpa kamu? Masihkah langit itu berubah merah bata? Masihkah bayu akan berhembus manja? Masihkan laut memantulkan mentari jingga di atas permukaannya?
Dan bilapun matahari akan tetap terbit dan tenggelam, meski tanpa kamu. Masihkah jingganya tetap sama? Masihkah dia akan menjelma indah, bila kunikmati semuanya hanya bersama pasir di sela jari kaki, tapi tanpa kamu di sini?
Sore ini membawaku pada satu kesimpulan. Bahwa kamulah penyempurna ritual sakral penjemput malam. Maka demi keindahan mentari jingga di sore hari yang kukagumi, kumohon jangan pergi. Tetaplah di sini, hingga indah itu akan tetap ada.
Karena, tanpa ragu kukatakan, kita tercipta untuk bersama, saling mengisi sela-sela jari. Duduk bersisian, menikmati terbit, dan terbenamnya matahari, bersama.
Bukan hanya hari ini. Tapi sampai nanti, saat bumi memutuskan berhenti berotasi.
Leave a comment